|
Image by Pixabay |
Reshuffle Kabinet Kerja telah diumumkan kemarin oleh Presiden Republik Indonesia. Berbagai macam reaksi berdatangan dari banyak sekali kalangan. Ada yang kecewa, ada yang menyambut dengan penuh optimisme. Itulah dinamika politik. Sesuatu yang bergerak secara dinamis menyesuaikan dengan keadaaan terkini, terutama terhadap tantangan jaman yang semakin cepat pergerakan perubahannya. Mengenai kepuasan, saya kira keputusan politik memang ibarat itu. Selalu memunculkan banyak sekali macam reaksi. Namun satu hal yang pasti, keputusan politik tidaklah sanggup memuaskan semua pihak.
Salah satu menteri yang diganti dari
reshuffle kemarin yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Reaksi dari teman-teman pun beragam. Banyak yang terkejut, ada pula yang menyikapi secara biasa saja. Pada goresan pena kali ini, saya tidak akan mengkritisi pergantian tersebut, tidak pula menulis panjang lebar wacana aspek kepuasan atas pergantian Anies Baswedan. Tulisan kali ini akan lebih menyoroti tantangan Indonesia ke depan pasca pergantian Mendikbud dari Anies Baswedan ke Muhajir Effendi.
Inilah beberapa aspek yang seharusnya lebih dipertajam oleh Mendikbud yang baru.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, urusan pendidikan pasca reformasi kewenangannya didelegasikan ke pemerintah daerah. Hal yang juga harus diperhatikan yaitu bahwa hingga dengan dikala ini, ketimpangan pembangunan masih terjadi. Pemerintahan yang dikomandani oleh Joko Widodo telah sedemikian cermat mengatasi ketimpangan ini dengan cara pembangunan infrastruktur yang dilakukan dengan cara yang ngotot. Pembangunan yang lebih memperhatikan daerah perbatasan dan daerah tertinggal, khususnya timur Indonesia, bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan dalam jangka panjang dengan mempermudah saluran ekonomi dan menekan disparitas harga. Gegap gempita pembangunan infrastruktur terkesan lebih kepada pembangunan di aspek ekonomi. Sementara aspek infrastukur pendidikan, ibarat pembangunan sekolah, penyediaan guru yang kompeten masih menjadi pertanyaan di sebagian benak orang.
Saya kira inilah pekerjaan rumah yang penting untuk tetap diteruskan dan diintensifkan di kemudian hari. Sebagaimana sebuah sistem, tentulah ia memerlukan keseragaman. Tidak pun keseragaman, ia memerlukan kemiripan. Maksudnya yaitu bahwa dimana-mana selagi masih di NKRI, kualitas sekolah dari banyak sekali aspek tentu saja memerlukan kemiripan, terutama dalam hal mutu atau kualitas. Sehingga tidak ada anggapan lagi bahwa sekolah di Jawa memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari, misalnya, sekolah di Papua. Ini penting untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada dasarnya tujuan dari reformasi birokrasi yaitu mewujudkan layanan birokrasi yang berkualitas. Parameter kualitas sanggup dibagi dari aspek efisiensi dan efektivitas. Reformasi birokrasi dalam badan Kemendikbud memang telah bergulir sedemikian lama. Namun terkait dengan pelayanan, masih terdapat beberapa perkara yang pernah menciptakan Pak Anies Baswedan sempat berang. Kasus ini mungkin tidak sanggup untuk menggeneralisasi pelayanan keseluruhan di badan Kementerian beranggaran terbesar ini. Namun demikian, mungkin saja cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa birokrasi di lingkungan Kemendikbud masih bersifat kaku dan sangat administratif yang mungkin saja sanggup mengaburkan substansi dari pelayanan.
Ada beberapa kebijakan yang penting untuk segera dituntaskan. Di antaranya yaitu permasalahan kurikulum. Permasalahan ini memang klasik. Mungkin sejak republik ini berdiri. Ada ungkapan satire yang sangat lekat dan begitu bersahabat di indera pendengaran kita bahwa ganti menteri, ganti kebijakan. Maksud kebijakan di sini lebih dimaknai dengan pergantian kurikulum. Pergantian kurikulum tentu saja tidak menjadikan problem serius selama pergantian tersebut bersifat berkesinambungan dan muncul secara
bottom up. Seringkali implementasi kurikulum mengalami hambatan di lapangan yang disebabkan oleh belum siapnya sistem pendidikan. Sistem sanggup berupa infrastruktur pendidikan, pengajar, dan siswa itu sendiri. Sebagai pola yaitu implementasi kurikulum 2013 yang mengalami 'kegagapan' dalam implementasinya.
Kebijakan ke depan hendaknya lebih memperhatikan aspek yang lebih substantif, alih-alih ke aspek yang lebih populis. Beberapa kebijakan yang telah diambil oleh Pak Anies yang beberapa sangat pro terhadap nasib
guru honorer hendaknya dipertahankan mengingat mereka juga merupakan aset yang luar biasa penting bagi pendidikan bangsa secara keseluruhan.
- Keberlanjutan dan Penyempurnaan Program
Beberapa aktivitas yang dicanangkan oleh pemerintahan sebelumnya dan pemerintahan kini yang sangat pro terhadap siswa miskin hendaknya terus dilanjutkan. Pemberian insentif pendidikan berupa sumbangan ibarat BOS hendaknya lebih ditingkatkan lagi dari aspek transparansi dan akuntabilitas. Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) juga hendaknya lebih diakselerasi lagi dalam hal distibusi. Semakin cepat semakin baik.
Demikian goresan pena kami buat. Jika Anda ingin menambahkan ajaran Anda, kami persilahkan untuk mengisi di kolom komentar. Mari berdiskusi secara sehat. Maju terus pendidikan Indonesia!!!
Kontributor: |
Agil Kuntarto - Karyawan PT Pos Indonesia dan Pemerhati Pendidikan |
0 Response to "Quo Vadis Pendidikan Indonesia Pasca Anies Baswedan"
Post a Comment